Friday, January 18, 2013

Torang samua basudara ? Nyanda noh tarasa

Saat matahari akan menutup harinya, waktu sore pun habis ditelan gelapnya malam, bersamaan dengan itu, hujan pun turun membasahi bumi pada waktu itu. Saya dan ayah saya sedang jalan-jalan kesalah satu toko buku yang berada di Kota Manado, Sulawesi Utara. Kami berdua tidak bisa kembali ke rumah karena hujan pada saat itu tidak memungkinkan untuk kami melakukan perjalanan. Sembari menunggu, kami membaca buku yang telah kami beli ditoko buku tadi. Terlihat dijalanan hujan sudah mulai reda, kami pun bersiap untuk melanjutkan perjalanan kembali kerumah. Langkah ku seketika terhenti melihat sesosok bapak-bapak yang menggunakan tongkat sebagai alat untuk menunjuk jalan. Ya, bapak itu adalah seorang tuna netra.  Setelah hujan reda, ia keluar dari tempat berteduhnya secara tertatih-tatih. Ia kesulitan menemukan jalan keluar karena pengelihatannya yang kurang sempurna. Didepan toko buku pun terlihat tukang parkir, satpam dan beberapa ojek payung yang sedang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.  Ada pula beberapa orang yang sedang mencari angkot, untuk media transportasi mereka pulang kerumah. Tapi tak satu pun dari mereka yang mencoba membantu bapak— yang tuna netra tadi untuk berjalan menuju keluar dari toko buku. Beliau pun berusaha sendiri agar bisa keluar dari toko buku tersebut. Terlihat dari kejauhan, beberapa mobil sedang masuk ke toko buku untuk parkir. Sang bapak—tuna netra tadi pun hampir menabrak mobil yang ingin masuk ke toko buku itu, tapi lagi dan lagi, tak satu pun dari mereka yang mencoba menolong beliau. Mereka hanya sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Terlihat bapak tersebut berdiri ditepian jalan, nampaknya beliau sedang bingung. Saya pun berlari dari kejauhan dan menghampiri bapak tersebut. Saya bertanya “bapak mo menyebrang jalan ?” sang bapak pun menjawab “oh, nyanda de’, kita mo dola oto for pulang”. Saya pun menawarkan diri untuk membantu mencarikan angkot untuk sang bapak.

“ bapak mo nae oto apa so kalo bole tau ? ”

“ oh, kita kwa mo dola oto yang arah kasana (tunjuk kesebelah kiri jalan), terserah oto apa kalo dari sini ”

“ kalo oto pasar45 ato perkamil bole nda pak ? ”

“ io boleh ”

Terlihat angkot yang kita cari pun lewat. Saya berusaha memanggil sopir angkot tersebut supaya angkotnya berhenti.

“ pak, itu so ada tu mikro ” sapa saya ke bapak—tuna netra tersebut.

“oh, io de ”

Saya berusaha menuntun beliau untuk sampai ke angkot. Terlihat beliau begitu semangatnya beranjak dari tempat kita berdiri tadi ke angkot yang akan dia tuju, saking semangatnya beliau hampir jatuh karena kondisi jalan yang licin sehabis hujan .

 “ ini pak tu mikro, awas kepala pak ” tuntun saya ke beliau yang sedang berada dipintu angkot.

“ makase banya eh de ” ucap beliau dengan raut muka senyum.

“Mudah-mudahan beliau bisa sampai ke tempat tujuannya dengan selamat” doa saya setelah melihat angkot tersebut  pergi meninggalkan tepian jalan tempat tadi saya dan beliau berdiri .

Yang saya tidak habis pikir, kenapa tidak ada satupun dari mereka yang menolong bapak—tuna netra tadi ? Apakah menolong beliau dapat mengurangi waktu kita dalam beraktivitas ? Ataukah menolong beliau merupakan hal yang jijik ?. Gengsi. Mungkin kata itu yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan saya diatas.

“ Biar puru nda ada isi mar gaya tetap nimbole sampe kalah aksi ” kalimat tersebut tidak sengaja pernah keluar dari mulut saya waktu lagi duduk nongkrong dengan teman-teman. Mungkin kalimat tersebut perlahan-lahan akan menggantikan semboyan “torang samua basudara” yang sudah terkenal diberbagai penjuru Indonesia. Kenapa ? Karena semboyan tersebut sekarang cuma berbatas sampai dibibir saja. Kalau memang semboyan “torang samua basudara” itu masih ada, kenapa tidak ada rasa iba ketika kita melihat orang seperti bapak—tuna netra tadi ? Apakah karena beliau cacat fisik lalu kemudian dia tidak dianggap sebagai ‘saudara’ ? Kemanakah rasa persaudaraan kita selama ini ? Apakah rasa persaudaraan kita itu sudah luntur ditelan waktu ? Saya rasa hanya masrakyat Kota Manado yang dapat menjawab semua pertanyaa diatas.

7 comments:

  1. Sebuah refleksi nyata kehidupan masyarakat Sulawesi Utara yang tidak bisa dipungkiri. Makasih bro untuk boleh terus mengingatkan torang samua bahwa torang hidup bukang cuma urus diri sandiri

    ReplyDelete
  2. Terima kasih atas komentar positifnya :D

    ReplyDelete
  3. Begitulah. Dan kondisi seperti itu sangat kental di rasakan pada "Perkotaan". Tapi kita masih munya budaya "basudara". Nyata di lihat, pada daerah "pedesaan". Jadi, Basudara relatif, and kondisional. Salam Blogger.

    ReplyDelete
  4. Maka dari itu, bagaimana cara membawa budaya "basudara" kita yang ada didaerah "pedesaan" ke daerah yang kita sebut dengan sebutan "kota". Ini yang seharusnya menjadi "pekerjaan rumah" bagi rakyat Manado yang mengaku tinggal didaerah "perkotaan".

    ReplyDelete
  5. nerekalah org'' yg tak pernah menjadi pempin bagi diri mereka karna bila mereka peduli kepada DIRI SENDIRI, maka mereka tau bagaimana Peduli kepada ORANG LAIN

    Malu itu bukan dalam fisik manusia tapi dalam jiwa manusia itu sendiri.

    ReplyDelete
  6. tentu Ayah ibumu sudah mengajarkan bagaimana memperlakukan org buta dan orang yg perlu dibanru.teruskan anak

    ReplyDelete