“ bapak mo nae oto apa so kalo
bole tau ? ”
“ oh, kita kwa mo dola oto yang arah
kasana (tunjuk kesebelah kiri jalan), terserah oto apa kalo dari sini ”
“ kalo oto pasar45 ato perkamil bole
nda pak ? ”
“ io boleh ”
Terlihat angkot yang kita cari pun
lewat. Saya berusaha memanggil sopir angkot tersebut supaya angkotnya berhenti.
“ pak, itu so ada tu mikro ” sapa
saya ke bapak—tuna netra tersebut.
“oh, io de ”
Saya berusaha menuntun beliau untuk
sampai ke angkot. Terlihat beliau begitu semangatnya beranjak dari tempat kita
berdiri tadi ke angkot yang akan dia tuju, saking semangatnya beliau hampir
jatuh karena kondisi jalan yang licin sehabis hujan .
“ ini pak tu mikro, awas
kepala pak ” tuntun saya ke beliau yang sedang berada dipintu angkot.
“ makase banya eh de ” ucap beliau
dengan raut muka senyum.
“Mudah-mudahan beliau bisa sampai ke
tempat tujuannya dengan selamat” doa saya setelah melihat angkot tersebut
pergi meninggalkan tepian jalan tempat tadi saya dan beliau berdiri .
Yang saya tidak habis pikir, kenapa
tidak ada satupun dari mereka yang menolong bapak—tuna netra tadi ? Apakah
menolong beliau dapat mengurangi waktu kita dalam beraktivitas ? Ataukah
menolong beliau merupakan hal yang jijik ?. Gengsi. Mungkin kata itu yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
saya diatas.
“ Biar puru nda ada isi mar gaya
tetap nimbole sampe kalah aksi ” kalimat tersebut tidak sengaja pernah keluar
dari mulut saya waktu lagi duduk nongkrong dengan teman-teman. Mungkin kalimat
tersebut perlahan-lahan akan menggantikan semboyan “torang samua basudara” yang
sudah terkenal diberbagai penjuru Indonesia. Kenapa ? Karena semboyan tersebut
sekarang cuma berbatas sampai dibibir saja. Kalau memang semboyan “torang samua
basudara” itu masih ada, kenapa tidak ada rasa iba ketika kita melihat orang
seperti bapak—tuna netra tadi ? Apakah karena beliau cacat fisik lalu kemudian dia
tidak dianggap sebagai ‘saudara’ ? Kemanakah rasa persaudaraan kita selama ini
? Apakah rasa persaudaraan kita itu sudah luntur ditelan waktu ? Saya rasa
hanya masrakyat Kota Manado yang dapat menjawab semua pertanyaa diatas.
Refleksi yang menarik nih :)
ReplyDeleteSebuah refleksi nyata kehidupan masyarakat Sulawesi Utara yang tidak bisa dipungkiri. Makasih bro untuk boleh terus mengingatkan torang samua bahwa torang hidup bukang cuma urus diri sandiri
ReplyDeleteTerima kasih atas komentar positifnya :D
ReplyDeleteBegitulah. Dan kondisi seperti itu sangat kental di rasakan pada "Perkotaan". Tapi kita masih munya budaya "basudara". Nyata di lihat, pada daerah "pedesaan". Jadi, Basudara relatif, and kondisional. Salam Blogger.
ReplyDeleteMaka dari itu, bagaimana cara membawa budaya "basudara" kita yang ada didaerah "pedesaan" ke daerah yang kita sebut dengan sebutan "kota". Ini yang seharusnya menjadi "pekerjaan rumah" bagi rakyat Manado yang mengaku tinggal didaerah "perkotaan".
ReplyDeletenerekalah org'' yg tak pernah menjadi pempin bagi diri mereka karna bila mereka peduli kepada DIRI SENDIRI, maka mereka tau bagaimana Peduli kepada ORANG LAIN
ReplyDeleteMalu itu bukan dalam fisik manusia tapi dalam jiwa manusia itu sendiri.
tentu Ayah ibumu sudah mengajarkan bagaimana memperlakukan org buta dan orang yg perlu dibanru.teruskan anak
ReplyDelete